
Usai shalat zhuhur berjama’ah, Zioni menghampiri sapi Kanjeng yang baru saja ingin membaca koran New York Times edisi kamis, November 26 ’09.
“jenengan mesti seringsering baca koran, Zon. Biar ndak ketinggalan berita kehidupan manusia.”
“ah, tak penting itu, bang, yang kutau, macam mana caranya manusiamanusia itu tau, kalo kita juga butuh dimengerti.”
“koq nadanya mirip kayak iklan pembalut yo…”
Zioni tersenyum lebar, “hehehe… btw anyway busway, kemaren kau janji sama awak, mau menceritakan sual REVOLUSI DAUN, bang. Ayolah! Semalaman aku tak bisa tidur nih. Mana MU kalah 1-0 dari Besiktas di liga champion. Borjong kali lah…!”
“Milan main imbang 1-1 toh dengan Marseille?”
“loh, kau nonton juga, bang?”
“di sini kan ada. Makanya, baca koran. Biar pinter…”
“kau jangan purapura berkelit tak mau menjawab, bang. Apa itu REVOLUSI DAUN?!” wajah Zioni memerah seperti darah menggelegak.
“o iya, lali aku. Maklum… besuk lebaran. Jadi bawaannya degdeg-an aja, mas.”
“maksudmu kelapa degan, bang?”
“hadoh, jenengan iki piye toh... Heh, jatah hidup kita itu tinggal seumuran laron aja. Besuk, kaum muslim udah pada nyate di masjid, rumah atau dimanamana lah…”
“tadi abang bilang nyate ya? Ehm… berarti kita mau dijadiin sate gitu… Allahuakabar… kok mereka tega ya, bang. Hikhikhikz… tapi, aku tak mau tertipu lagi. sudah dua kali kau berkelit, bang! Ayo, sekarang berceritalah…!”
“iku airmatane dihapus ndisek. Pejantan kok melankoliz gitu.”
“aku sedih, bang. Sedih jaya! Macam kau tak pernah bersedih saja! Janganjangan Hatimu terbuat dari hati manusia ya?”
“yowis, puaspuasin deh nangisnya. Dengerdenger sih, bentar lagi jenengan mau dibawa ke Cikeas. Jadi…”
“BANG………! Ceritalah…!” Zioni mulai naik pitam sambil membenturbenturkan kepalanya ke tembok.
“iyo… iyo. Jadi ngene loh, Zon. Jenengan ngerti ra arti kata revolusi?”
“mana awak tau, bang.”
“kenal sama Soekarno?”
“nggak!”
“Sobron Aidit?”
“kalo Universite de Paris Sorbonne, awak tau, bang.”
“nah… kebeneran. Dari Sorbonne itu kan ada alumnusnya yang bernama Andrea Hirata & Arai.