
basecamp untuk mereka, sebelum tiba hari Jum’at: hari raya I’ed al-Adha.
“btw, kau datang darimana, kawan?” tanya Zioni kepada sapi di sebelahnya.
“dari Brebes, mas. Sampeyan dari Medan yo?”
“Lho, koq…?”
“halah… gampang nemen. Logatmu itu lho. Ndak bisa ngeboong. Ya toh?” kata Kanjeng, si sapi berbadan gagah perkakas itu.
“toh…o iya, nama awak Zioni, bang. Kau siapa?”
“oh, aku Kanjeng. Salam kenal yo. nah, jenengan ngapain dateng ke sini? Mau cari kerjaan sambil merantau begitu?”
“sebenarnya awak tak tau mau apa datang ke sini, bang. Tapi yang jelas, seminggu lalu, kami semua digiring dari rumah masingmasing & dibawa pake truk besar melintasi daratan Sumatera.”
“jadi jenengan beneran ndak tau mau apa?”
“begitulah, bang…” jawab Zioni lesu.
“mau ndak tak kasih tau, buat apa kita dikumpulin di sini?”
“ehm…boljug lah [mungkin maksudnya boleh juga x ye]. Asal itu tak menyakitkan…”
“lima tahun lalu, waktu masih ABG, saya ndak sengaja ngeliat kawankawan kambing & sapi di kampung kami, disuruh naek ke dalem truk. Kata tementemen sih, mereka mau dibawa ke Jakarta…” Kanjeng diam sejenak.
“nah, bagaimana lanjutannya, bang? Coba kau teruskan ceritamu itu?” sambil menitikkan airmata, Kanjeng menjawab datar.
“sampe sekarang, mereka semua ndak kembali, mas.”
“Hah? Maksudmu, mereka sudah hidup layak di Jakarta, begitu?”
“wallahu a’lam, mas, yang jelas, kuburan mereka tak pernah kami temukan sampe sekarang. Kasian anak-bininya si Parjo, Joko, Klobot, Tole, Legimin, Minah, Hanif dan yang lainnya…”
“ceritamu kok mirip macam kisah para mahasiswa yang hilang tak tentu rimbanya itu ya, bang…”
“jadi, sekarang jenengan wis paham dhurung?”
“sedikit. Tapi masih ada yang mengganjal aja di pikiranku, bang.”
“opo iku?”
“kenapa orangorang itu berkumpul di depan kita, bang? Apa sih yang mereka liatin?”
“mungkin mereka naksir sama jenengan kali. Hehehe…”
“ah, jangan gitu lah, bang. Awak serius nih!”
Selesai Zioni bicara, tibatiba satu sapi di bagian ujung barisan, dibawa oleh sekelompok orang berjenggot lebat yang berbaju ghamis putih. Si sapi nampak keberatan dengan perlakuan kasar orangorang berjenggot itu.
“bang… mau dibawa kemana tuh dia?”
“aku tak tau. Pokoknya seperti yang kubilang tadi, jangan berpikir untuk pulang”
“alamakjang… macam mana pula ini? Jadi, kita udah pasti tak bisa pulang ya, bang?”
“begitulah…prend. Kata guru spiritualku, kita ini mau dijadikan kurban untuk Tuhan. keren toh?”
“hah? Maksudmu, kita… ah, tapi kenapa mesti kita yang kena, bang? Kenapa bukan babi atau anjing saja?”
“husy… jangan kencengkenceng ngomongnya! Ra kepenak kalo kedengeran sama MUI di sini. Tadi sih waktu di perjalanan, aku sempet liat ada ANJING yang dijual untuk dijadiin hewan kurban. Tapi ndak ada yang mau beli. Karena di jidatnya ada label haram dari Majelisualam…”
“bang…! Awak tak bisa terima! Macam mana nasib emakku yang menjanda itu. Macam mana pula jadinya si Ramona yang sudah kulamar bulan kemaren?”
“serahkan saja semua sama Gusti Alloh. Dia itu Maha Kaya, Zon.” Maha Lucu & Maha Segala Maha. Kita ini apalah. Cuma binatang tok. Hidupnya memang untuk berkhidmat sama manusia.”
“tapi, bang..? kenapa mesti kita? Kenapa bukan kita saja yang mengurbankan mereka, manusiamanusia itu?”
“iku jenenge kurangajar. Mau ngaturngatur kebijakan tuhan. kalo di Barat sana, bangsa kita ini ada yang ngebelain loh. Dasarnya sih Hak Azasi Binatang. Kalo ini dibahas, ndak cukup satu semester kulia, mas.”
“kalo gitu, ayolah kita ke sana, bang!”
“jenengan saja sendiri yang berangkat. Aku bangga bisa jadi delegasi kurban dari Brebes… aku bangga bisa ketemu Tuhan.”
“memangnya kalo ga dikurbanin, kita ga bisa ketemu sama Dia, gitu?”
“ya bisa. Cuma lama aja. Semua kita kan datang dari Dia, ya pasti pulangnya ke Dia lagi. Innalillahi wa innailaihi roji’un…”
“kalo udah ketemu sama Dia, bisa kan kita minta biar diketemuin lagi sama keluarga yang kita tinggal di dunia?”
“ah… kau mesti banyak belajar, saudaraku… aku kehabisan kata untuk menjelaskannya.”
“tega kau, bang… cobalah jelaskan. Awak tak banyak paham sual ketuhanan. Kan ada baiknya kau berbagi, sebelum kita gameover hari Jum’at nanti.”
“gini aja deh. Insya4jji ba’da zhuhur besok tak jelasin lagi, kenapa kita mesti dikurbanin. Intinya, kita itu bisa jadi REVOLUSI DAUN buat bangsa manusia.”
“apa lagi tuh, bang? Coba kau jelaskan?”
“tadi kan udah tak bilangin, dijelasinnya besok. Yowis, hayo kita buka fesbuk dulu. Bikin catatan di profil. Biar orangorang pada baca apa yang sebenarnya kita alami selama ini.”
Kanjeng mengeluarkan laptopnya, lalu menekan tombol wi-fi untuk koneksi internet. Usai itu, kedua makhluk lucu ini asyik tenggelam di jejaring sosial semilyar umat, dengan senyum khas mereka yang lebar nan memesona. [tigaduren, 251109]
Catatan Reno Ramutu,
0 comments:
Post a Comment