Beberapa detik berikutnya, kusambung ocehan ekstasenya itu dengan sekian terimakasih
lain—terimakasih kepada malaikat penjaga tiang langit, pada burung di angkasa, matahari di atas sana, rembulan yang mengintip di barat bumi, pak polisi di seluruh Indonesia, aspal jalan raya, motor yang kami tunggangi, minyak bumi, karet ban, besi-baja, sopir bus kota+keneknya, tukang rokok, penyapu jalan, debu lalulintas, jam tanganku, baju&celana, sepatu, kambing&sapi tercinta, ibu-ayah di rumah, kampung halamanku, nenek, tanah, udara, api & Jakarta.
Ucapan belasungkasih ini belum berhenti sampai di situ. Kami terus wiridan berdua sampai lupa kalo di lampu merah Kali Malang, kami bablas saja melewati kendaraan yang berhenti dengan imutnya. Satupersatu kami menyalami para malaikat penjaga semesta, hewan renik di tubuh masingmasing, mata, rambut, kulit, perut, gigi, lidah, telinga, tangan & kaki, sperma, satelit, semesta, galaksi bimasakti, handphone, indosat, telkom, kuman, kodok, kala, ruang, matematika, fisika, kakek Einstein, om Newton, pakde Ibn Sina, mbah Socrates, bang Plato, cak Aristoteteles, internet, yahoo, si google imut, fesbuk, diri sendiri, kanjeng Nabi Muhammad, Allah Swt & juga al-Haq. Semua kami salami hingga tersungkur mencium bumi. Kami haturkan salam hormat setulus Hati kepada semua yang adalah ‘alam, yang adalah Dia. Ampun, Gusti. Ampun berjibunjibun. Suwun, Kangmaz…[tigaduren, 081209]
Catatan Reno Ramutu,
0 comments:
Post a Comment